Saya sejenak memikirkan cerita Malin Kundang yang dikutuk ibunya. Alasan sang penyampai cerita adalah karena Malin Kundang sudah sangat keterlaluan dan tidak menganggapnya sebagai Ibu. Kemudian saya membandingkannya dengan cerita pada jaman Raja Salomo dimana seorang ibu yang merelakan anaknya agar tidak ‘dibelah’ menjadi dua bagian karena ada wanita lain yang mengakui sebagai ibu dari anak yang diperebutkan. Sementara si wanita lain itu setuju dengan ide sang hakim Agung raja Salomo (yang melakukan triknya dengan sangat baik) untuk ‘membelah’ si bayi menjadi dua bagian.
Kemudian saya membandingkannya lagi dengan lagu Kasih Ibu, kasih ibu kepada beta..tak terhingga sepanjang masa…hanya memberi tak harap kembali …bagai sang surya menyinari dunia.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada saudara-saudara dari ranah Minang, saya mulai bertanya apakah ibu dalam cerita Malin Kundang itu adalah ibu kandung Malin Kundang. Kenapa sebagai ibu kandung beliau tega mengeluarkan sumpah atas anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri, buah kasihnya yang sepanjang masa, kasih yang diberikannya tanpa harap kembali. Walau kemudian sang ibu menyesal dengan kata-katanya sendiri setelah melihat kenyataan apa yang diucapkannya menjadi kenyataan.
Dalam hidup rumah tangga, pasangan kita tentu tidak sehebat ibu atau ayah yang dengan tulus menyayangi. Namun oleh sang waktu cinta yang membara diawal menurut scenario harusnya dirubah menjadi kasih yang tak lekang oleh waktu. Dan bentuk kasih itu akan mendekati kadar kasih dari seorang ibu atau bapak. Sehingga semua bentuk interaksi antara keduanya adalah atas dasar kasih. Emosi yang sangat manusiawi muncul dalam perjalanannya tidak menyebabkan salah seorang di antara pasangan itu sampai hati mengeluarkan sumpah serapah demi kehancuran pasangannya. Apalagi diungkapkan dihadapan pasangannya.
Ibu Malin Kundang mengalami pengkhianatan oleh putranya sendiri. Namun karena satu dan lain hal sumpah serapah keluar dari mulut sang ibu. Kalau boleh saya sarankan jangan jadikan ini sebagai justifikasi Anda untuk melakukannya kepada pasangan Anda. Baik Anda Suami maupun Istri. Buat calon pasangan, Anda harus meyakinkan diri bahwa Anda tidak akan melakukannya kepada pasangan Anda sekalipun Anda mendapatkan perlakuan yang buruk. Jika hidup Anda terancam lebih baik Anda pergi ketimbang bertahan namun Anda menyumpahi untuk kehancuran pasangan Anda. Karena itu tandanya Anda sudah tidak memiliki kasih lagi kepada pasangan Anda dan menginginkan kehancuran pasangan Anda. Terlepas dari apa yang dilakukan pasangan Anda, seburuk apakah itu. Lebih baik Anda mendoakannya tanpa berusaha merubah. Serahkan kepada Tuhan dan terus limpahkan pasangan Anda dengan kasih. Jika tidak terjadi perubahan, Anda berhak untuk mengambil kendali atas hidup Anda dan melakukan evaluasi terhadap komitment, visi dan misi yang ditetapkan pada awal perjalanan bersama pasangan. Evaluasi tindakan-tindakan Anda, introspeksi itu lebih baik dari pada menyerang pasangan Anda terus menerus. Anda berhak untuk hidup lebih baik, Anda berhak untuk mengambil bagian dalam visi dan misi yang baru , menciptakan dunia yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar